Sunday, January 21, 2018

PIHAK YANG MEMBERI HIBAH DAN MENERIMA HIBAH

Berdasarkan Pasal 1666 BW, penghibahan (schenking) adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian “dengan cuma-cuma”, dimana perkataan “dengan cuma-cuma” itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedangkan pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian “sepihak” sebagai lawan dari perjanjian “bertimbal-balik”. Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang lazim adalah bahwa orang menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima suatu kontra-prestasi.
Untuk menghibahkan, seorang, selainnya bahwa ia harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa. Diadakan kekecualian dalam halnya seorang yang belum mencapai usia genap 21 tahun, menikah dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan. Orang yang belum mencapai usia genap 21 tahun itu diperkenankan membuat perjanjian perkawinan asal ia dibantu oleh orangtuanya atau orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk melangsungkan perkawinan. Dengan istilah “dibantu” dimaksudkan bahwa orang yang belum dewasa itu membuat sendiri perjanjiannya (sebagai pihak) namun ia didampingi oleh orangtuanya itu.
Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa, tetapi ia harus diwakili oleh orangtua atau wali. Undang-undang hanya memberikan pembatasan dalam Pasal 1679 BW, yaitu menetapkan bahwa orang yang menerima hibah itu harus sudah ada (artinya: sudah dilahirkan) pada saat dilakukannya penghibahan, dengan pula mengindahkan ketentuan Pasal 2 BW yang menetapkan bahwa anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendakinya.
Pasal 1678 BW melarang penghibahan antara suami dan isteri selama perkawinan. Namun, ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian barang-barang bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlampau tinggi, mengingat kemampuan si penghibah. Ketentuan tersebut hanya mempunyai arti kalau suami-isteri itu kawin dengan (perjanjian) perpisahan kekayaan, sebab kalau mereka itu kawin dalam percampuran kekayaan, maka kekayaan kedua belah pihak dicampur menjadi satu, baik kekayaan yang dibawanya kedalam perkawinan maupun kekayaan yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Ketentuan (larangan penghibahan antara suami-isteri) ini dimaksudkan untuk melindungi orang-orang pihak ketiga yang mengadakan transaksi-transaksi dengan si suami atau si isteri dimana mereka tentunya menyandarkan kepercayaan mereka kepada keadaan kekayaan si suami atau si isteri itu. Dalam hukum perkawinan juga kita lihat adanya suatu larangan untuk mengubah suatu perjanjian perkawinan.
Penghibahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga-lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekadar oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberian-pemberian itu.
Akhirnya oleh Pasal 1681 BW dinyatakan berlakunya beberapa pasal dari Buku II BW terhadap penghibahan. Jika dilihat pasal-pasal itu, ternyata bahwa ketentuan-ketentuan itu mengandung larangan memberikan hibah wasiat kepada beberapa orang tertentu dengan siapa si pemberi mempunyai hubungan yang begitu khusus sehingga dianggap tidak pantas kalau orang-orang tersebut menerima suatu pemberian darinya. Misalnya, dilarang pemberian hibah wasiat kepada walinya si pemberi, kepada dokter yang merawat si pemberi sewaktu ia sakit yang mengakibatkan matinya si pemberi ini, kepada notaris yang membuat testament tentang hibah wasiat yang dibuat oleh si pemberi hibah itu, dan lain-lain.

No comments:

Post a Comment